REVIEW ARTIKEL JURNAL NASIONAL

 BAB I

COMPARE

Efektivitas pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh sejauhmana instrumen perangkat daerah menyelenggarakan fungsi dan tugasnya secara efektif. Sejauhmana perangkat daerah yang telah diatur dalam PP No. 41 Tahun 2007 menjalankan fungsi mengurus sejumlah urusan (bidang) pemerintahan yang dibebankan. Fungsi-fungsi pengurusan oleh perangkat daerah ini terkait dengan sejumlah urusan pemerintahan (wajib dan pilihan) yang telah diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Menurut Hall (1999) seperti dikutip Lee (2004), bahwa asumsi yang mendasari pendekatan nilai-nilai bersaing ini adalah adanya perbedaan tentang penilaian efektivitas pada beberapa organisasi yang terjadi. Perbedaan itu karena beberapa alasan, yakni: (1) masing-masing organisasi diperhadapkan pada lingkungan yang beragam dan saling bertentangan; (2) masing-masing organisasi memiliki tujuan yang beragam dan saling berbeda; (3) masingmasing organisasi diperhadapkan pada konstituensi yang berlainan dan beragam; dan (4) organisasi berada pada konteks waktu yang berbeda pula.

Di Indonesia sendiri, menurut Domai (2010), dalam periode pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, kerjasama antarpemerintah daerah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Berbagai kerjasama antardaerah yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama antarpemerintah daerah telah banyak dilakukan, terutama di kawasan kota metropolitan.Kerjasama tersebut dilakukan antara lain sebagai tuntutan dari perkembangan kota metropolitan dalam melayani daerah-daerah di sekitarnya dalam hal pembangunan dan ekonomi.

Fenomena pembantaian etnis menjadi sesuatu yang melekat dalam pengalaman negara bangsa di berbagai negara yang mengaku demokratis. Idealnya dalam demokrasi, negara dapat memainkan peran dan kapasitasnya sebagai fasilitator dalam menghadapi berbagai kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakatnya, sehingga konflik akibat kompetisi dapat dikendalikan. Namun realitanya, masyarakat yang telah terbentuk lama dengan adat istiadat dan terstratifikasi oleh struktur yang ada, akan didominasi oleh mayoritas, karena pada dasarnya demokrasi memang berprinsip pada mayoritas ini.


BAB II

CONTRAST

Pandangan suatu kelompok dalam melihat kelompok masyarakat lainnya senantiasa berubah seiring dinamika proses hubungan yang terjalin antar kelompok yang ada. Kondisi demikian pada hakikatnya adalah juga konsekuensi logis dari masyarakat bangsa yang majemuk. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin tidak bisa dilepaskan dari konsep “komunitas kami atau kita (us)” yang seringkali dibedakan, bahkan dipertentangkan, dengan “komunitas mereka” (others). Begitu juga perbedaan antara mayoritas dan minoritas, superior dan inferior, dominasi dan subdominasi. Pada umumnya komunitas kami atau kita seringkali dianggap sebagai dasar pemahaman terhadap pembenaran.65 Konsepsi “kekitaan” atau “komunitas kami” atau “komunitas mereka”, sesuai dengan analisis Mann tentang gejala pembentukan identitas ke-kita-an, atau “We, the people”. Pada titik yang paling ekstrim, kelompok yang berasal dari luar akan diasingkan dan dibersihkan dari wilayah “the people”. Cara pandang demikian, menurut Stanley J. Grenz sekurang-kurangnya menegaskan bahwa apa pun yang kita anggap benar dan cara kita mengatakan kebenaran itu sangat bergantung kepada komunitas kita. Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran itu tergantung kepada komunitas. Penjelasantentang mengapa di negara demokrasi juga dapat terjadi pembunuhan yang brutal juga dapat dijelaskan dengan faktor ekonomi yaitu Ketika kelompok etnis bentrokatastanah, upaya memonopoliekonomi, sumber daya, dan pemukiman.

Mengingat pentingnya peran aparatur dalam menyelenggarakan peran dan fungsinya, perlu kiranya dicari dan dirumuskan suatu pendekatan strategis untuk membangun wajah baru aparatur profesional yang handal, tanggap, inovatif, fleksibel dan tidak prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan. Peran pemerintah yang selama ini sebagai ruler seharusnya diubah menjadi fasilitator seperti dikatakan oleh Osborne dan Gaebler, dengan paradigma baru yang menempatkan birokrasi sebagai fasilitator bukan sebagai ruler atau patron. Oleh karena itu, birokrasi sebagai fasilitator dapat menjadi perantara antara negara dengan masyarakat. Dalam hal ini birokrasi memiliki peranan yang menentukan untukmenghadapi masyarakat majemuk dengan berbagai dimensi permasalahannya.

Menurut Van Meter dan Van Horn(Wahab, 2002:65), implementasi kebijakan didefinisikan sebagai “Tindakantindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakanaan”. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2002:101).Dalam proses implementasi atau pelaksanaan kebijakan, kemungkinan akan selalu terbuka terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan atau yang sudah direncanakan oleh para pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan tadi). Hal inilah yang kemudian disebut dengan implementation gap atau kesenjangan.Pada batas tertentu kesenjangan ini masih dapat dibiarkan, sekalipun dalam monitoring harus diidentifikasi untuk segera diperbaiki apalagi jika kesenjangan yang terjadi lebih besar dari batas toleransi maka harus segera diperbaiki.

BAB III

CRITIZE

Konsep good governance dalam penyelanggaraan pemerintahan suatu negara merupakan solusi dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (2000:27) ada lima unsur utama Good Governance yaitu:a) Akuntabilitas (accountability), tanggung jawab dan tanggung gugat dari pengurusan governance, akuntabilitas politik, keuangan dan hukum, b) Transparansi (transparancy), perumusan kebijakan politik, tender dan lain-lain dilakukan secara transparan, c) Keterbukaan (openness), pemberian informasi, adanya open freesuggestion dan critic (partisipasi) keterbukaan ekonomi dan politik. d) Aturan hukum (rule of law), jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh juga dalam social economic transaction. Conflict resolution berdasarkan hukum yang bebas dan kinerjanya yang terhormat (an independent judiciary). Dasar-dasar dan institusi hukum yang baik sebagai infrastruktur good governance. e) Jaminan fairness level playing field (perlakuan adil).

Pada hakikatnya hak untuk memperoleh informasi adalah hak yang dimiliki masyarakat untuk memperoleh atau mengakses informasi yang dikelola oleh negara Assegaf dan Khatarina (2005) menjelaskan bahwa suatu informasi dikatakan sebagai informasi publik adalah informasi yang dikelola oleh negara -selain informasi mengenai pribadi seseorang atau badan hukum privat- bukanlah milik negara, namun milik masyarakat.UU KIP menyatakan bahwainformasi publik diartikan sebagaiinformasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/ atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Walaupun peraturan, kebijakan, dan program secara formal selalu obyektif dan tidak memihak, dalam pelaksanaannya seringkali terjadi deviasi dan penyelewengan oleh para pelaksana dengan memberikan preferensi lebih kepada suatu kelompok etnis tertentu. Preferensi tersebut menyentuh tidak saja bidang-bidang yang bernilai tinggi seperti kontrak pemerintah, akses pada tanah, kredit, izin usaha dan devisa, serta berbagai pelayanan public seperti pendidikan, perumahan, pelayanan listrik, telepon dan jaringan air bersih, dan fasilitas rekreasi. Di banyak negara, bantuan luar negeri untuk pembangunan ekonomi seringkali diplintir dan digunakan untuk tujuan yang berbeda dengan tujuan semula.

BAB IV

SYHNTESIZE

Menurut Conyers seperti yang dikutip Muluk (2007), mengungkapkan bahwa pengelolaan sumber daya aparatur merupakan salah satu kewenangan yang telah dilimpahkan kepada daerah otonom. Dalam pengertian bahwa kewenangan mengatur dan mengurus di bidang kepegawaian daerah adalah salah satu fungsi yang di desentralisasikan. Daerah otonom memiliki kekuasaan dalam penentuan syarat, penetapan, penunjukan, pemindahan, pengawasan dan penegakan disiplin aparatur daerah.

Dalam konteks penelitian ini, aspek pengembangan manusia terkait dengan kecenderungan orientasi nilai efektivitas organisasi perangkat daerah (OPD) Kabupaten Maros pada peningkatan kesejahteraan, ketrampilan dan kreativitas dalam bekerja serta pegawai yang bermoral, seperti yang dinyatakan Robbins (1994). Orientasi nilai efektivitas organisasi perangkat daerah pada pengembangan manusia salah satunya dapat dinilai melalui jenis dan bentuk program kerja setiap satuan perangkat daerah yang diarahkan pada peningkatan kapasitas dan profesionalitas aparatur. Selain itu, perhatian yang lebih besar pada pengembangan manusia dapat pula diukur dari seberapa besar alokasi anggaran yang berkaitan dengan program atau kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas sumber daya aparatur.

Model lembaga kerjasama antardaerah pada kertamantul berbentuk sekretariat bersama atau Sekber Kartamantul yang merupakanforum yang dianggap sangat menguntungkan daerah. Dengan model ini seolah hambatan strukturaltidak akan terjadi dan diskripsi kerja menjadi lebih jelas. Namun di sisi negatif, bentuk forum menjadikan sekber tidak memiliki mekanisme kerja yang sistematis yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja sekber. Sekretariat Bersama Kartamantul merupakan forum koordinasi, monitoring dan evaluasi bersama terutama untuk sektor yang menyatu secara geografis seperti drainase, jalan, transportasi dan lain-lain. 

Efektivitas tindaklanjut temuan hasil audit internal menurut Ratliff, Wallace, Sumners, McFarland, and Loebbecke (1996:449), tidak lepas dari peranan : a) Auditor; b) Auditee; dan c) Manajemen Puncak. Auditor internal berperan dalam meyakinkan kesuksesan pelaksanaan tindaklanjut (Grosshans, 1994). Selain auditor, manajemen juga mempengaruhi penyelenggaraan rekomendasi (Caplan, 1999). Kegagalan auditor internal seringkali karena tindaklanjut tidak diselenggarakan secara efektif (Burr, 1997; Russell & Regel, 1996). Penyelenggaraan tindaklanjut meningkatkan kinerja organisasi (Keating, 1995), dengan kata lain, penyimpangan yang telah dideteksi dan rekomendasi yang diberikan auditor kepada manajemen, tidak akan efektif dalam meningkatkan efektivitas sistem pengendalian internal, apabila tindaklanjut tidak diselenggarakan secara efektif. 

BAB V

SUMMARIZE

Birokrasi sebagai intrumen pemerintah terdepan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, sudah seharusnya berupaya mencari strategi dan inovasi dalam menghadapi persoalan masyarakat majemuk dengan berbagai dimensi permasalahannya. Sudah saatnya birokrasi mengubah perannya dari sebagai ‘ruler’ menjadi ‘fasilitator’.Birokrat jangan hanya membatasi perhatiannya, pada teknologi manajerial yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi instrumental, atau hanya pada fungsi manajemen atau penganggaran. Fokus utama birokrat sekarang sudah seharusnya pada formulasi dan implementasi kebijakan dalam hal pengendalian perilaku masyarakat. Di tengah era demokrasi, di mana kebebasan diartikan dalam makna bebas melakukan apa pun, birokrasi harus mampu menyerap perkembangan ‘negatif’ yang terjadi dengan memberikan pemikiran dan implementasi baru demi stabilitas bangsa.

Desentralisasi memberikan kesempatan besar kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan publiknya menjadi lebih baik, termasuk dalam hal kewenangan antarpemerintah daerah untuk bekerjasama, hal tersebut sesuai dengan teori local government, tetapi dalam kerjasama di Jabodetabekpunjur diperlihatkan bahwa kerjasama antarpemerintah daerah belum optimal dilaksanakan walaupun dari sisi perencanaannya sudah cukup lengkap antara lain mencakup matriks rencana kegiatan periode 5 (lima) tahun, adanya peraturan yang sudah disepakati bersama, kelembagaan yang sudah dibentuk beserta tugas dan fungsinya, keputusan bersama lengkap dengan sasaran kegiatan, sumber dana dan lokasinya.

Organisasi publik (birokrasi) bekerja atas dasar prinsip hierarki jabatan yang diperlihatkan oleh garis komando yang formal dari atasan kepada bawahan. Atasan membawahi dan mengatasi bawahan, berdasarkan pembagian tugas dan tanggung jawab yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab bawahan. Meskipun terkesan kaku dan tidak fleksibel, namun tetap ada kelebihan dari karakter birokrasi semacam ini yaitu adanya kejelasan tugas, wewenang, tanggung jawab, termasuk kejelasan kepada siapa segala tugas harus dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Dityatama & Dwiputrianti, Septiana. “Pengaruh Kualitas Audit Internal Terhadap Efektivitas Sistem Pengendalian Internal, Dengan Efektivitas TindakLanjut Sebagai Variabel Pemoderasi”. Bandung : Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara

Abdullah, Muh. Tang. “Desentralisasi Dan Efektivitas Pemerintahan Daerah:Studi Efektifitas Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten MarosMelalui Pendekatan Competing Values”. Program Studi Administrasi Negara Fisip Universitas Hasanuddin.

Marlia, Lina. “Kerja Sama Antarpemerintah Daerah di Bidang Penataan Ruang (Studi Kasus: Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangareng,Bekasi, Puncak, dan Cianjur)”. University of Brawijaya

Enceng. “Strategi Dan Inovasi Pemerintah Menghadapi Dampak Demokrasi:Kasus Konflik Etnis”. Jakarta : Universitas Terbuka.

Eko, Sakapurnama; Jannah, Lina Miftahul; Muslim, Muh Azis & Safitri, Nurul. “Telaah Implementasi UndangUndang Keterbukaan Informasi Publik Sebagai Wujud Penerapan Prinsip Good Governance” 

Komentar